Ads 468x60px

Pages

Minggu, 03 Agustus 2008

Ngentot | ML | Bersetubuh dengan ibu Kost ( 2 )


Cerita ini adalah sambungan cerita dari bagian 1. Cerita ini diilhami oleh cerita kisah Tarto yang dulu ditulis kalau tidak salah oleh Joko Lelono. Cerita lama yang saya sukai, yang saya buat lebih pendek dan dimodifikasi sesuai dengan lingkungan saya sekarang. Aktor utamanya adalah pelajar yang kost, sedangkan saya bayangkan sayalah ibu-kostnya. Silakan baca juga cerita saya yang lain: "Mengintip ABG onani di rumahku", "Pijatan Pak Hasan", dan beberapa cerita lain.
Selamat membaca.


Tanpa menjawab aku berdiri, dan dia bangun dan menuntunku. “Uuuuuhhh,” lenguhnya lagi.

“Ke kamar kamu saja.”

Sebelum sampai ke dipanku, Tante Ried berhenti dan berdiri di samping dipan. Aku memeluknya, dia menahan dadaku.

“Kunci dulu pintunya.” Okey, beres.

Kulepas seluruh kancingnya, dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang dan celana dalam, pemandangan tubuh wanita dewasa yang sangat indah. Ibu kostku memelukku lagi. Dadanya merapat di dadaku.

“Mir, hhehhhhhhh,” katanya gemas seperti menahan sesuatu.

Dia menjilat bibirku lagi. Main lidah lagi. Tangannya menyusup ke celanaku, meremas-remas kelaminku di balik celana.

“Eehhmmmmmm kerasnya kontolmu,” dengusnya. Ah bahasa yang dipakai ibu kostku porno banget.

Dengan kesulitan ia membuka ikat pinggangku, membuka resleting celanaku, merogoh celana dalamku, dan mengeluarkan “isinya”.

“Eehhh.” Ia melepas ciuman, melihat ke bawah memandang alat kejantananku.

“Ada apa Tante,” tanyaku di sela-sela dengus nafasku.

“Keras dan kaku.” Batang penis coklatku tegang naik ke atas. Tak terlalu besar, panjang sekitar 13 cm.

Ia mempermainkan penisku. Menggenggam, meremas. Geli, geliii sekali. Stop Tante Ried, jangan sampai keluar. Aku ingin pengalaman baru, Tante. Ingin memasuki kelaminmu.. sekarang ! Kutarik tangannya dari penisku. Kubuka semua pakaian, celana dan cd-ku. Aku telanjang bulat.
"Ih bener-bener keras dan ngacung ke atas Mir batangnya. Bersih banget barang kamu". kata ibu kostku. Alat kelaminku memang bersih dan hampir tidak ada rambut, yang ada juga pendek dan halus.

"Mir, bantu tante buka ini nih....". Kulepas tali kutangnya, tapi yang belakang susah dilepas. Tante Ried membantu. Buah dada itu terbuka. Wow.luar biasa indahnya. Belum sempat aku menikmat buah itu, Tante memelukku. Meraih tangan kananku, dituntunnya menyelip ke celana dalamnya. Di bawah rambut-rambut itu terasa basah. Dipegangnya jariku dan digesek-gesek lembut di bibir vaginanya, dan juga dilipatan-lipatan dangingnya. Sangat lembab, basah, dan hangat. Waktu jariku tergesek kacang keras disitu, "ahhhh, terlalu sensitif, dan sangat geli" kata tante Ried. Diajarinya aku bagaimana jariku harus bermain di sana : menggesek-gesek antara benjolan kacang dan pintu basah itu. DIpindahnya jariku ke bagian sebelah atas kacang ke arah pusar. Terasa seperti ada batang keras di sana, yang bermuara di benjolan kacang.

“Uuuuuuhhhhhh, Mir..”

Aku telah dari tadi telanjang bulat. Kutarik juga celana dalamnya ke bawah. Tante Rie dmembantu dengan satu-satu mengangkat kakinya hingga cd-nya terlepas sudah. Ia telanjang bulat juga. Luar biasa. Pinggang yang montok, perut itu walau sudah ada lemak dan tak rata tapi putih dan sangat mulus, ke bawah melebar lengkungannya indah. Kedua teteknya terlihat indah walau tak sebesar tetek bule di majalah. Puting tante Ried ukuran sedang warna coklat yang sangat muda dan terang. Dan, ahhh.... Rambut-rambut jembut itu hitam lebat menggemaskan, diapit oleh sepasang paha yang nyaris bulat. Seluruhnya dibalut kulit yang putih dan mulusnya bukan main !

Tante memegang batangku lagi dengan tangan kanannya. Diusap-usapnya batang dan memencet-pencet kepala penisku. Crittt, keluar sedikit cairan bening......membasahi jari ibu kostku. "ah maaf tante, rasanya terlalu enak". Dengan muka pucat dan tergetar tante Ried memain-mainkan cairan mazi di tangannya..."oohhh Mir". Kini kedua tangannya memainkan kelaminku, satu tangan meremas dan mengocok perlahan batang, dan satu lagi membelai kantung telurku. Badanku gemetar karena nikmat dan nafsu. "Sedikit sekali bulu kontolmu" kata ibu kostku "bolamu bersih sekali". Cairan bening itu terus keluar menetes dari lubang penisku. "Ah tante, berenti dulu, nanti takut Amir keluar itunya......, terlalu enak, sudah tak tahan".

Tante Ried mengerti. "gantian, sekarang Amir yang buat ke tante". "Bbbaik, tante... tapi bagaimana, .....?". Tante memeluk kepalaku, ditarik ke arah teteknya, "isap susu tante Mir..."katanya serak hampir tak terdengar. Kubelai kedua bola susu tante Ried dengan masing-masing tanganku. Tante mengerang perlahan. Alangkah lunak dan lembutnya susu ibu kostku itu, alangkah putihnya, dan puting kecoklatan tadi terasa agak mengencang kalau disentuh lembut. Mulai kujilat, dan kuisap lembut puting yang mengeras itu. Badan tante tergetar dan dari bibirnya keluar keluhan lembut. Terus kuisap puting kirinya, dan tak terasa tangan tante menekan kepalaku semakin erat ke dadanya, dan satu tangannya lagi meremas pantatku. Sambil mengisap puting kedua tanganku meremas-remas perlahan teteknya. Setelah beberapa saat tante berbisik "pindah ke tetek yang sebelah Mir". Ganti aku sekarang mengisap tetek tante yang sebelah. "Ah ..." tante mengaduh, dan terasa badan tante mengejang dan didekapnya aku erat-erat sambil aku terus menyusu teteknya. Ada 10 sampai 15 detik Tante Ried mendekapku demikian.

Aku ingin berpetualang dan memenuhi ingin tahu birahiku lebih lanjut "Tante boleh Amir cium ...cium anu tante". "Maksud kamu cium memek tante...?"tanya ibu kostku lirih. Tanpa suara lagi, tante menekan lembut kepalaku ke bawah hingga mukaku tepat di depan hutan belantara hitamnya. Tante menaikkan satu kakinya ke atas dipan, kaki yang satu lagi agak ditekuk di bagian lutut. Ahhhh, tante kini posisi berdiri tatapi mengangkang lebar, dan tangannya ditumpukan ke kedua pundakku untuk menahan badannya. Ah, betapa dekatnya mukaku ke pusat kenikmatannya. Tercium bau khas dari memeknya yang lebat itu, seperti bau keringat dan ada bau-bau lain yang susah kuceritakan. Pahanya menagngkang lebar dan rambut hutannya menjadi terkuak di bagian tengah. Bibir memekny yang berwarna coklat terlihat dibalik lebatnya rambut, dan lebih ketengah hutan itu mulai mereda, tampak lipatan daging memanjang dari bawah ke atas, berwarna coklat kemerahan dan di atas bermuara di sebuah benjolan sebesar kacang pink yang tampak mengeras dan memanjang keluar dari lipatan kulit. Itulah kelentit tante yang muncul keluar dari sangkar lipatan kulitnya. Kulihat dibagian sedikit ke atas dari kacang, seperti ada jalur batang kecil yang mengeras. Seperti penis mini yang ujungnya adalah kacang tadi. Bagian itu lebat dan hanya kacangnya yang tak ada rambut, sedikit ke atas dari situ sudah lebat lagi.

Dan ke bawah dari kacang, di antara lipat daging terlihat teksture lembut dan sangat basah, ada lubang kecil, dan di bawah lubang kecil itu ada pintu yang membuka berwarna pink kemerahan. Itulah lubang untuk dimasuki penis pikirku. Lubang itu sangat becek oleh cairan bening keputihan. Tak tahan kujilat cairan itu....."ahhhhh Mir .." tante Ried menggeletar. Terus kujilat lipatan-lipatan, dan tante Ried meremas-remas pundakku sambil pinggulnya bergetar dan bergerak perlahan. Rasa asin seperti putih telur yang bergaram memenuhi mulutku, dan hidungku mencium aroma khas yang memabukkan. Walau ada seperti baukeringat dan ada sedikit bau pipis di sana, aku tak perduli, bagiku itu adalah aroma birahi yang menghangatkan. Lidahku menjalar ke atas dan menyentuh benjolan kacang tante.... terasa keras. "Aduuuhhhh, kata tante Ried. Terus kujiolat sangat lembut kacangf tante. "Ahhh terlalu geliii... jilat ke atas sedikit". AKu menurut dan kujilat bagian yang seperti batang kecil keras melalui kelebatan rambut kelamin tante. Batang terbenam kulit dan berujung di kacang itu terasa kaku dan keras.Hiiih seperti menjilat penis mini pikirku, sambil terasa penisku sendiri sudah seperti mau meledak karena rangsangan birahi yang luar biasa.

Sambil menjilat batang mini tante, sekali-kali lidahku meluncur ke bawah menyeruput cairan dari lubang vagina tante. Dan tau-tau .....ada terasa cairan itu merembes keluar lebih dari sebelumnya. A'Ahhhh desis tante sambil mengejang sebentar. Cairan bening sedikit putih itu kembali kuseruput.... seperti putih telur yang belum dimasak.

"Mir..., tante juga mau lihat kontolmu" kata tante kemudian. Tante kemudian berdiri tegak lagi, menegangkan pinggang bawahnya seperti orang pegal. Dan terus menaiki dipan, dan terlentang sambil kakinya mengangkang lebar dengan lutut yang terlipat. AKu menyusul naik. "Berbaring di sebelahku, mukamu dekat pahaku dan kontolmu sini aku pegang" perintah ibu kostku. Aku berbaring miring lurus, kepalaku kuposisikan di atas daerah di antara paha ibu kostku, smentara kemaluanku sangat dekat dengan mukanya. Kebetulan tinggi kami hampir sama, dengan tante kira-kira tingginya 155-158 cm. Otomatis mukaku kudekatkan ke selangkangnya yang terbuka lebar. Lubang memeknya tampak membuka dan sangat basah, berwarna pink, bagian dalamnya tak seberapa keliatan.

Tapi yang kini menarik perhatianku adalah lubang yang satu lagi, lubang anusnya. Daerah lubang tinjanya itu ditumbuhi bulu-bulu juga walau halus dan tak lebat. Ohhh ibu kostku ini memang tipe wanita yang lebat. Kulit disitu sangat puthi dan ada kemerahan sedikit. Tetapi didekat lubang anusnya, warnanya berubah coklat kemerahan. Lubangnya tampak sedikit mengeriput dan menonjol. AKu yang telah dirasuk birahi langsung menjilat lubang itu dan beruisaha menembus masuk. Ada bau keringat dan tercium juga aroma khas anus, tetapi aku merasa itu semua menambah birahiku. "Ah......Mir, geliiii.. tapii...." gemetar tante Ried kurasakan. AKu semakin nafsu waktu tangan tante Ried meremas dan mengocok batang kemaluanku. "iiihh banyak air keluar Mir dari kontolmu... air mazimu..". Rasa enak dan geli dan gatal menjadi satu di batangku, tante semakin mengeraskan remasannnya dan kocokannya. Ahhhh memuncaklah kegatalan itu, kenikmatan itu. AKu tak tahan lagi. "Tante..... aku mau keluar maniku....." Tante Rieda terus mengocok tapi mengarahkan batangku kearah kasur dan "ahhhhh" crit crit crit, beberapa kali kumuntahkan spermaku. AKu berkelojotan karena kenikmatan yang diberikan. "Haah haah .." erangku. Batangku terasa keras dan jauh lebih nikmat dari waktu onani.

Sesudah beberapa saat aku terbaring lesu. "Sini, tiduran di sini, kepalanya di atas sini Mir di sebelah mukaku". AKu tukar posisi, sekarang kami berbaring bersebelahan seperti tadi juga, hanya kepalaku terbaring di sebelah mukanya.

"Enak Mir?"
"Ya tante, enak banget, tapi apa tante rasa enak juga...? tanyaku bodoh. AKu merasa seolah eku egois karena aku saja yang enak.
Tante bisa merasa kekhawatiranku.
"Udahlah..Tante Ried tahu. Kamu engga usah merasa apa-apa. Tante maklum kok. Kamu kan masih muda dan nggak ada pengalaman. Jadi kalau kesentuh mesti mudah puncak dan nyemprot"
"Tapi Tante Ried kan belum ..."
"Engga usah kamu pikirin. Tante mengerti. Lagian tante juga rasa enak tadi waku diisap dan dijilat" katanya menentramkan sambil mengelus-elus dadaku.
"Saya engga bisa bertahan lama, Tante Ried"
"AH biasa aja, kok. Tante tadi juga merasa nikmat. Kamu udah pintar tadi"
"Tak adil rasanya. Saya merasakan kenikmatan luar biasa, sedangkan Tante belum"
"Sudahlah, Mir. Tak perlu kamu pikirkan. Tante Ried mengerti"
"Terima kasih Tante" Kupeluk tubuhnya erat. Erat sekali.
Diciumnya pipiku, lalu merebahkan kepalanya di dadaku. Aku mengelus rambutnya.
"Tubuhmu bagus sekali. Dadamu bidang" katanya sambil tangannya menelusuri dadaku. AKu tahu walau aku tidak tinggi tetapi badanku ok juga tegapnya.
"Iya, Tante Ried. Dulu saya kerja di kebun rumah. Saya juga sering olahraga"
Tiba-tiba tangan Tante ke bawah menggenggam punyaku.
"Kelaminmu sensitif sekali ya. Ok juga ukurannya untuk sumuran kamu"
"Ah, masa Tante Ried. Saya kira biasa-biasa saja"
"Apalagi kalau lagi tegang". Kulirik punyaku, sudah agak surut.
"Tubuh Tante luar biasa" balasku.
"Kalau lagi tegang keras dan panas" komentarnya lagi masih tentang penisku, mengabaikan pujianku.
"Tetek Tante Ried indah sekali"
"Ah, masa. Dibanding punya siapa" pancingnya.
"Siapa saja" Aku pura-pura terpancing.
"Berarti kamu sering lihat tetek, ya" Kubalikkan badannya.
"Bulat, kenyal, putih, licin, halus lagi" kataku sambil melihat dekat-dekat buah itu.
"Buah dada siapa yang kamu lihat" tanyanya sambil menggoyang-goyang batang kelaminku yang masih berada digenggamannya.
"Cuma baru ini" jawabku sambil mulai merabai permukaan dadanya.
"Jujur aja, Mir. Dada siapa yang pernah kamu lihat" katanya lagi. Ibu kostku penasaran rupanya.
"Sungguh mati Tante Ried. Cuma punya Tante yang pernah saya lihat"
"Yang bener, Mir" tangannya tidak menggenggam lagi, tapi mengelus kelaminku.
"Benar Tante Ried"
"Kok tahu bagus ?"
"Saya hanya lihat punya teman-teman sekolah. Itupun dari luar"
"Pernah kamu pegang ?" Tangannya masih mengelus, aku mulai terangsang.
"Ih, engga lah, Tante. Bisa gempar, dong"
"Jadi, tahunya punya Tante Ried bagus, dari mana ?"
"Pokoknya, dari luar, punya Tante paling sip" Kataku mengambil hatinya. Ujung jariku mempermainkan putingnya. Putting itu mulai mengeras.
"Tante Ried"
"Hmm ?"
"Apa setiap buah dada ujungnya begini ?'
"Begini gimana"
"Panjang, mungil, tapi keras"
"Mungkin. Punyamu mulai keras"
Aku seperti disadarkan. Memang aku sudah terangsang akibat percakapan tentang dada dan elusan ibu kostku pada kelaminku. Aku mau lagi. Kenapa tidak ? Mumpung masih ada kesempatan. Oom Bambang paling cepat besok siang pulangnya. Segera saja kukulum putting yang sejak tadi kupermainkan.
"Eeeeehhhhhmmmmmmm.." Tante Ried melenguh panjang.
Tanganku ke bawah mencari-cari di antara 'rambut-rambut'. Basah di sana. Kugosok yang basah itu.
"Uuhmmmm....Aaahhhhhhh..Uuhhmmmmm" desahnya agak keras, mengikuti irama gosokanku. Batang kontolku diremas-remas. Enak.
"Mir... Hhheeeehhhggh..sedap, Mir..Hhheeeeeghh"
Tante makin ribut, aku khawatir kalau sampai terdengar dari luar kamar. Ah, tak ada orang ini. Aku makin giat menggosoki kacang dan batang kecil di bawah sana.
Tante Ried makin ribut, menceracau tak karuan
Gosok lagi.
Teriak dia lagi. Akhirnya...
"Udah, Mir.ampun..Ayo Mir, sekarang Mir, sekarang...!" "Sini masukkan kontolmu ke lubang memekku.
Aku bangkit. Kelaminku yang sudah keras kupegang pangkalnya, kuarahkan. Tante membuka kakinya lebar-lebar. Demikian lebarnya sampai kedua lututnya ke atas, menyuguhkan kelaminnya yang membasah, tepat di depan kelaminku.. Dipegangnya batangku, diarahkan tepat ke ujung lubang. Sambil menarik batangku tante Ried memerintah "Dorong masuk Mir.."
Aku masuk.
Kudorong perlahan.
"Oooohhh, Mir..sedapnya...."
Sudah tenggelam separoh. Kudorong lagi.
"Aduuuuhhhh, Miiirr, nikmatnya..." teriaknya lagi.
Kudorong lagi.
Sudah masuk seluruhnya.
Kurebahkan tubuhku menindih tubuhnya. Tanganku ke belakang punggungnya.
"Digenjot Mir, dipompa kontolnya, ayo... tarik dorong" kata tante Ried terengah-engah.
Kudekap erat tubuhnya, lalu aku mulai menggenjot. Sedaaaaaaaapp.
Bertumpu pada kedua lututku, aku menarik dan mendorong pinggulku.
Nikmaaaaaaaaaattt.
Entah kata apa saja yang keluar dari mulut Tante Ried aku tak peduli. Terus saja menggenjot, naik-turun, keluar-masuk.
Aku nikmati benar gesekan kelaminku pada dinding vagina Tante.
Kadang selagi punyaku didalam, Tante Ried "mengikat" pahaku dengan kakinya sambil memutar pantatnya. Kurasakan sentuhan seluruh relung kelaminnya pada kelaminku.
Luar biasa sedapnya.
"Mir...hhehh.kamu...hhehh..kok..hhehh.."Tante Ried mencoba bicara disela-sela nafasnya yang memburu.
"Keenaapaa . hheehh.. Taanntee...hhehh"
"Kamu....kok...bisa lama..., ahhhh enak...."
Baru aku menyadari, sudah puluhan kali kelaminku kugenjot keluar- masuk-putar, tapi aku tak merasakan geli seperti tadi waktu disentuh tante Ried. Yang kurasakan hanya nikmat. Rasa geli yang tak bisa kutahan yang kemudian membuat aku ke 'puncak', kali ini tak kurasakan ! Heran ! Ahhh ini mesti karena aku sudah muncrat mani tadi. Tante Ried sendiri mesti udah tahu penyebabnya.......
"Engga ...tahu.. Tante.."
"Mir, Oh aduh..heeeehhhhhh"
"Enak...Tante Ried...?"
"Wooow....luar biasa..."
Genjot dan genjot lagi
"Kamu..masih...lama..Mir..?"
"Masih...Tante Ried."
Memang aku belum merasakan "geli menuju puncak"
"Diam. dulu,.. Mir"
Aku menghentikan genjotanku. Posisiku masih "di dalam".
Tangan Tante memeluk erat punggungku, sementara kakinya mengikat pahaku. Lalu tubuhnya bergerak miring hendak merobohkan tubuhku. Aku bertahan, tak tahu maksudnya.
"Gantian, Mir...Tante Ried di atas."
Baru aku tahu maksud gerakan Tante ini. Kuikuti gerakannya, tapi..
"Jangan.sampai...lepasss"
Rupanya gerakan robohku terlalu cepat, sehingga kelaminku sedikit tercabut. Untung Tante Ried cepat mengimbangi gerakanku, hingga punyaku "masuk lagi".
Sekarang kami sudah sempurna berbalik posisi. Tante yang menindihku. Hanya sebentar. Tante Ried lalu perlahan bangkit mendudukiku. Kelamin kami tak terlepas. Tante mulai bergerak. Aneh, gerakannya maju-mundur ! Rasanya lain pula, tapi sama sedapnya ! Dengan posisi begini gesekannya terasa lain. Kadang diputar, seperti diperas. Kadang Tante Ried "jongkok", pantatnya naik-turun, sedap juga.
"Aaaahhhh..kamu..nakal" teriaknya ketika dia berjongkok membenamkan kelaminku, aku mengangkat pantatku.
Kedua tanganku diraih, dituntun ke dadanya. Kuremas dada yang tambah licin kena keringat.
Entah sudah berapa lama akhirnya Tante capek juga. Dia rebahkan tubuhnya. Kupeluk. Kumiringkan, aku ingin di atas lagi. Tante Ried menurut. Dengan hati-hati kami mengubah posisi, agar jangan terlepas. Aku berhasil.
"Kamu...udah..pintar.."pujinya.
Dengan posisi di atas aku jadi bebas menggenjot. Lagi-lagi Tante teriak.
"Terus..Mir.., Tante Ried...hampir..."
Terus. Tusukanku makin menggila. Teriakannya makin keras.
Rasa geli datang, dimulai dari ujung penis, terus menjalar ke seluruh tubuh. Makin geli. Makin cepat aku menarik-tusuk. Kesemutan...mengambang..melayang..dan.......
"Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh...."
Seeeerrr, denyut-denyut, seeerrr, bergetar, serrrrr, berguncang..seer. Entah sudah berapa kali seerr, yang jelas setiap kali keluar aku merasakan kenikmatan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Begitu nikmat. Aku sampai lupa memperhatikan tingkah Tante. Badannya telah bergeser ke atas karena ku"dorong" dengan tusukanku. Bantalnya bukan lagi di kepala, tapi di punggung. Sedangkan kepala terkulai, mata melihat ke atas, bibir terkatub rapat seluruh tubuh gemetaran. Teriakannya ? Tak perlu kuceritakan. Agak lama juga aku dan Tante Ried bergetaran begini, merasakan puncaknya kenikmatan hubungan kelamin.......
Lalu, hanya nafas kami berdua yang terdengar, seolah berebut mengisap oksigen untuk mengembalikan enerji yang keluar.
Lalu barangsur pelan, makin beraturan.
Tante masih "terkapar"
Aku lunglai di atas tubuhnya.
Dibandingkan muncrat yang tadi...... Ah ini Lebih nikmat, lebih memuncak, lebih lama, lebih banyak aku mengeluarkan "air"ku, lebih bergetar, pokoknya .....susah diceritakan. Pengalaman baru tentang rasa nikmat.
Dan lagi, mudah-mudahan pengamatanku tak salah, Tante Ried begitu menggelepar, mengerang, teriak.
"Ooh..Mir., kamu hebat" Diciumnya pipiku dengan gemasnya.
"Apanya yang hebat, Tante Ried"
"Kamu betul-betul lelaki" tambahnya
"Memang dari dulu saya laki-laki. Ini buktinya" Kusodorkan kelaminku, menusuk perutnya.
"Laki-laki yang jantan" diremasnya penisku dengan gemas.
"Auu" teriakku
"Mir...luar biasa.." Tak putus-putusnya ia memujiku.
"Enak engga tadi, Tante ?"
"Wow. bukan main. Sangat !"
Kupeluk tubuhnya. Aku merasa bahagia sekali.
"Tante Ried sayang.." Aku berbisik semesra mungkin.
Agak kaget Tante memandangku, lalu tersenyum. Manis sekali !
"Ada apa 'yang ?" Wuih, mesra banget. Tante Ried memanggilku 'yang'.
"Saya sayang Tante" Kucium bibirnya.
"Hhmmmmmmm" lenguhnya.
"Kalau lama, enak sekali ya Tante Ried"
"Kok kamu tadi bisa lama"
"Engga tahu, Tante. Mungkin karena tadi udah muncrat duluan"
"Atau mungkin karena kamu udah mulai pandai"
"Yang pandai gurunya"
"Huuuu" cibirnya sambil mencubit kontolku. Aku senang.
"Guruku yang cantik"
Dicubitnya hidungku.
"Dan berpengalaman" godaku lagi.
"Aaah, udahlah, Mir", tante lelah sekali katanya.

Kami diam lagi. Mataku terasa berat. Tante Ried, ibu kostku mulai tampak tertidur setelah kepuasan tadi.
Aku menerwang, melihat kedepan. APa yang akan terjadi seterusnya ...........

Sabtu, 02 Agustus 2008

Ngentot | ML | Bersetubuh dengan ibu Kost ( 1 )


Cerita ini diilhami oleh cerita kisah Tarto yang dulu ditulis kalau tidak salah oleh Joko Lelono. Cerita lama yang saya sukai, yang saya buat lebih pendek dan dimodifikasi sesuai dengan lingkungan saya sekarang. Aktor utamanya adalah pelajar yang kost, sedangkan saya bayangkan sayalah ibu-kostnya. Silakan baca juga cerita saya yang lain: "Mengintip ABG onani di rumahku", "Pijatan Pak Hasan", dan beberapa cerita lain.
Selamat membaca.

Akhirnya sampai juga aku di kota besar ini. Kota yang jauh dari tempat asalku di Jawa ! Aku memang orang dari kota kecil di Jawa. Rendah diri, pendiam dan tak pandai bergaul, apalagi dengan wanita. Pengetahuanku tentang wanita hampir dapat dikatakan nol, karena lingkungan bergaulku hanya seputar rumah, kebun, dan sekolah yang muridnya sebagian besar lelaki dan berasal dari kota kecil tempat tinggalku. Namaku Amir, samaran tentu saja.

Aku ke kota ini atas seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang mendorongnya. Orang tuaku cukup mampu dan mereka mau aku sekolah di tempat yang baik. Kalau di kotaku mana ada sekolah bagus. Di Jakarta pergaulannya tidak disukai orang tuaku. Jadi di luar negeri saja, di negara tetangga. Akhirnya aku dan ayah memutuskan untuk aku sekolah SMA di tempat baruku ini dengan harapan bisa terus sampai di universitas di negara tetangga ini. Ini adalah kisah di tempatku menyewa bilik (kamar) kost, di rumah keluarga om Bambang (keluarga pemilik rumah). Kebetulan kawan ayahku mengenal keluarga om bambang ini jadi atas rekomendasi dari teman ayahku itu aku datang dan menyewa kamar di keluarga Om Bambang. Sesampaiku di sana, ternyata bukan rumah tetapi semacam kondo gitu, dan sekolahnya tidak jauh dari situ.

Waktu sampai di negara tetangga itu, dari airport langsung aku pergi ke alamat kostku. Di tempat yang baru itu aku disambut oleh ibu kostku. Sungguh aku tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang aku dengar, orang kota terkenal individualis, tidak ramah dengan orang yang tak dikenal, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oom Bambang, Tante Ried namanya (”Panggil saja Tante,” katanya akrab) ramah, cantik lagi. Om Bambang kerja di satu instansi, berangkat pagi dan pulang malam, umurnya nggak jelas tetapi ada lah 50. Kalau tante Ried kira-kira 45-an, tapi masih keliatan muda dan haluuus banget kulitnya.
Anak Om dan tante Ried pemilik tempat aku kost ini ada beberapa orang, tapi aku tidak akan cerita mengenai mereka.

Hari-hari baruku dimulai. Aku diterima di Sekolah yang dikelola kedutaan besar RI, tak jauh dari kondo kostku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku memang belum sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik. Cantik ? Ya, sejak aku di sini jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut ukuranku. Dan ibu kostku, Tante Ried, isteri Oom Bambang menurutku paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku. Cepat-cepat kuusir bayangan wajah ibu kostku yang tiba-tiba muncul. Tak baik membayangkan wajahnya, apalagi dia kan malah masih lebih tua dari ibuku sendiri. Hari pertama ketemu, tante Ried pakai baju panjang dan bertutup kepala. Tapi besoknya ibu kostku ini sudah pakai pakaian rumahan biasa. "Kan ketemu setiap hari, lagian kan di rumah sendiri" katanya.

Pada umumnya teman-teman sekolahku baik. Terus terang aku di kelas menjadi cepat populer, bukan karena aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku tidaklah besar tapi sedang saja dengan tinggi kurang sedikit dari 160 cm. Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang pintar. Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang pengetahuanku.

Kegemaranku membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku di kamarku di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom Bambang yang sudah tak dipakai lagi. Nah, di antara tumpukan buku, aku menemukan selembar majalah bergambar, namanya lupa. Rupanya penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang wanita.

Majalah itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya bagus kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar satu-persatu kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria. Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok. Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan yang aku lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan sebagian atas dada.

Sejak ketemu majalah itu aku jadi lain jika memandang wanita teman kelasku. Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan dadanya “kuteliti”. Si Rika yang selama ini aku nilai wajahnya lumayan dan putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha mulus agak mirip foto di majalah itu. Memang hanya sebagian paha bawah saja yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. “Adikku” jadi keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap pagi. Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman baru bagiku. Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani, demikian menonjol ke depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Aku sering mencuri pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang terbuka sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang. Walau terlihat sedikit cukup membuatku “ngaceng”. Sayangnya, kaki Ani tak begitu bagus, agak besar. Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk dada Ani seutuhnya, ah ngaceng lagi ! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja, paha dan kaki lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku senang melihat wajahnya yang manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau ia bercerita, tangannya ikut “sibuk”. Maksudku kadang mencubit, menepuk, memukul, dan, ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku sekarang punya “wawasan” lain kalau memandang teman-teman cewe.

Ah ! Tante Ried ! Ya, kenapa selama ini aku belum “melihat dengan cara lain”? Mungkin karena ia ibu kostku, orang yang aku hormati. Mana berani aku “menggodanya” meskipun hanya dari cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Ried sebagai : wajahnya putih bersih dan cantik. Tingginya hampir sama dengan aku. Tapi dasar setan selalu menggoda manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat pulang sekolah untuk “meneliti” ibu kostku. Jangan ah, aku menghormati ibu kostku.

Aduh ! Kenapa begini ? Apanya yang begini ? Tante Ried ! Seperti biasa, kalau pulang aku masuk dari pintu rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah apartemen. Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi ruang keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet tebal yang empuk yang biasa digunakan ibu kostku untuk membaca sambil rebahan. Agak di belakang ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang keluarga, aku menjumpai Tante Ried duduk di kursi dekat TV menyilang kaki sedang membaca koran, berpakaian model jubah sampai sedikit bawah lutut. Duduknya persis si Rika tadi pagi, cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih, menarik, di betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai ke paha. Ya, paha, dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari ibu kostku belahan jubahnya tersingkap hingga ke bagian paha dekat lutut. Tanpa sengaja pula aku jadi tahu bahwa ibu kostku memiliki paha selain putih bersih juga berbulu lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku cepat sadar dan untung lagi ibu kostku begitu asyik membaca sehingga tidak melihat ulahku yang dengan kurang ajar “memeriksa” pahanya. Ah, kacau.

Sebenarnya tidak sekali ini aku melihat ibu kostku memakai jubah tersingkap macam itu, dan kadang-kadang gaun tidur yang tesingkap. Kenapa aku tadi terangsang mungkin karena “penghayatan” yang lain, gara-gara majalah itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah, meneruskan “penelitianku” tadi. Aku ada alasan lain tentu saja, nonton TV ASTRO, hal baru bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar : mengambil posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante Ried, searah-pandang kalau mengamati pahanya ! “Gimana sekolahmu tadi Mir ?” tanya Tante tiba-tiba yang sempat membuatku kaget sebab sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya. “Biasa-biasa saja Tante.” “Biasa gimana ? Ada kesulitan engga ?” “Engga Tante.” “Udah banyak dapat kawan ?” “Banyak, kawan sekelas.” “Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.” “Terima kasih, Tante. Saya belum hafal jalur dan kendaraannya, bingung liat ada bis, kereta api, dan lrt.” “Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.” “Iya Tante, mungkin hari Minggu saya akan coba.” “Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah malu-malu.” Gimana kurang baiknya ibu kostku ini, aku saja yang nakal. Nakal ? Ah ‘kan cuma dalam pikiran saja, lagi pula hanya “meneliti” kaki yang tanpa sengaja terlihat, apa salahnya. “Terima kasih Tante, uang yang kemarin masih ada kok.” “Emang kamu engga jajan di sekolah ?” Berdesir darahku. Sambil mengucapkan ‘jajan’ tadi Tante mengubah posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu celana dalamnya ! Aku berusaha keras menenangkan diri. “Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan kecil.” Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang mengganjal di dalam celanaku. Untung ibu kostku tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih sering ke arah ibu kostku, terutama bagian bawahnya!

Hari-hari berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah, makan siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Bambang pulang kantor selalu malam hari. Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam. Pada acara makan malam ini, sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati” (cuma dengan mata) kaki dan betis mulus Tante (pahanya nggak keliatan karena semua bajunya panjang bawah lutut). Tumben malam ini tante Ried pakai daster batik selutut pas. Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah ini di depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom Bambang punya kerja yang bagus, punya isteri yang cantik, putih, mulus. Anak-anak yang pinter semua. Tante Ried banyak waktu luang dan ada banyak kegiatan juga aku perhatikan, kegiatan sama teman-temannya.

Keesokkan harinya ada kejadian ‘penting’ yang perlu kuceritakan. Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke sekolah, aku iseng buka-buka rak tua yang banyak kertas dan majalah lama. Ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku majalah lama. Aku belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat takut telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada gambarnya wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. Inilah yang mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya memakai jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara bulatan dadanya yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu Mir !

Pulang sekolah tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan, tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar. Gemetaran aku dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar, putih, mulus, dan terbuka seluruhnya ! Paha dan kakinya meskipun tertutup jean ketat, tapi punya bentuk yang indah, putih, mulus, persis kaki milik Tante. Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli amat, tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting, karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada, meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar. Segera saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke pori-porinya. Ini kesempatanku untuk “mempelajari” anatomi buah kembar itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang merupakan puncaknya, kemudian turun lagi “membulat”. Ya, beginilah bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari ketika aku “praktek”. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, ibu kostku - Tante Ried ! Bagaimana ya bentuk buah dada ibu kostku itu ? Ah, kenapa selama ini aku tak memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih ! Memang kesempatannya baru lihat paha. Jubah atau gaun Tante Ried waktu itu, kalau tak salah, tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ‘kan bisa lihat bentuk luarnya. Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe bule ini mirip milik Tante Ried, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda, begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada ibu kostku yang cantik itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di meja makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa. Mengenakan baju-gaun longgar, baju mirip daster longgar selutut dari bahan corak batik warna dasar putih dan ada pengikat di pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya yang tidak terlalu panjang basah dan diikat handuk ke atas. “Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran masuknya,” sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. “Dari tadi Tante,” jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku. Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa ! Tampak cetakan buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi, bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.

Meskipun aku melihatnya masih “terbungkus” baju-gaun, tapi jelas alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian kanan bajunya rupanya ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar aku bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin hanya baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya aku tak tahu. Bawahnya ! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di betisnya seperti diatur, berbaris rapi. Sebenarnya bulu kakinya hampir tidak ada, tetapi karena kulitnya putih jadi macam jelas kelihatan. Maklumlah kalu di kotaku dulu perempuan kan kulitnya gelap-gelap.
Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya. Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus asyik merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama begini, disamping takut ketahuan, lagipula aku ‘kan sedang makan. Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. “Makan yang banyak, tambah lagi tuh ayamnya.” Bagaimana mau makan banyak, kalau “diganggu” seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya “gangguan nikmat” belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si ibu kost berbadan sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta gaunnya terbelah di dada bagian atas dan menampakkan pemandangan yang bukan main. Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas. Ampun.. putihnya, dan agak membulat walau tidak sebesar yang di majalah bule tadi. Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri, mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi nikmat !

Untung, atau ruginya, Tante Ried cepat bangkit menuju ke kamar sambil menukas: “Teruskan ya makannya.” “Ya Tante,” sahutku masih gemetaran. Aah., aku menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati ibu kostku berjalan ke kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul yang tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh ideal, memang. Buatku bodynya memang bagus banget, walau sudah tidak bisa dikatakan langsing lagi.

Malamnya aku bermimpi seolah tante Ried tengah berhimpit denganku, dia berdiri dan aku berdiri di belakangnya, macam berdiri di bis yang padat. Pantat tante Ried menyentuh anuku, dan terasa enak karena tergencet buah pantatnya. Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat, aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin meningkat dan meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum pernah kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi, seperti pipis dan… aku terbangun. ah ! Cuma mimpi rupanya. Masa memimpikan ibu kostku, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol ! Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental, dan bau pandan atau putih telur. Ah, kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi denganku ? Mungkin teman sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.

Esoknya aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan ibu kost yang duduk di pangkuanku, tapi “seseorang yang tak kukenal”. “Kamu baru mengalami tadi malam ?” “Ya, tadi malam.” “Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu kelas 2 SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.” “Mimpi basah ?” “Ya. Itu tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya kamu belum pernah dengar ?” Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu mimpi basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa! “Kamu punya pacar ?” “Engga.” “Atau pernah pacaran ?” “Engga juga.” “Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.” “Kalau pacaran ngapain aja sih ?” tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari lalu. “Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu ! Ya tergantung orangnya. Kalau aku sih paling-paling ciuman, raba-raba, udah. ” Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman di filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan.
“Ada juga yang sampai ‘gitu’ tapi engga hamil. Engga tahu aku caranya gimana.” “Gitu gimana ?” “Kamu betul-betul engga tahu ?” Lalu ia cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul baru tahu saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit manusia, lalu hamil. Bibit ! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk ke lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik dan ada belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran. Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ? Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba. Sepertinya sedap.

Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan… . Tanpa sadar aku berjalan terlalu ke tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada “pegangan”, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini, montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak cukup buat “menampung” dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah menjadi Yuli. Anak ini memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli yang kemudian membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin. Kamipun berciuman lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai kulepas, dua kancing dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada Yuli menonjol biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga. Kuremas-remas sepuasnya sampai tiba di depan rumah.

Aku kembali ke dunia nyata. Buka kunci rumah, buka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau mendapati Tante Ried sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa adalah, kedua bukit kembar itu. Tante Ried membaca sambil tengkurap menghadap pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada yang agak rendah. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan kesempatan emas ini. Tante Ried melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap, terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak lepas dari pemandangan amat indah ini…

Hampir lengkap aku “mempelajari” tubuh ibu kostku ini. Wajah dan “komponen”nya mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang menghasilkan : cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama. Kaki, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul, meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional, dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang tampak serasi dengan pinggul, dan perutnya memang sudah tidak rata lagi, mungkin karena usia. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan. Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita dewasa. Aku masih penasaran pada yang satu ini.

Keesokan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.

“Nih, buat kamu.”

“Apa nih ?”

“Simpan aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati.” Aku makin penasaran. “Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik,” bisiknya.

Sampai di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda pemberian Dito. Ibu kostku lagi membaca di karpet, kali ini terlentang, mengenakan gaun panjang di bawah lutut dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan sebagian paha bawahnya tampak, putih. “Suguhan” yang nikmat sebenarnya, tapi kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman penuh. Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat tidur. Segera saja aku mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui. Aku tak menemukan “segitiga terbalik” itu. Di bawah perut itu ada rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya lubang itu. Bentuknya begitu “rumit”. Ada daging berlipat di kanan kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki. Tapi, mana cukup ? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh : begini jugakah punya ibu kostku? Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan jawaban. Lupakan saja.

Siangnya pulang sekolah ketika aku masuk ke ruang keluarga. Aku masuk kamar. Dito lagi meminjamkan aku lembaran dari majalah dalam sampul tertutup. Seketika dadaku berdebar kencang setelah buka potongan majalah dari Dito. Satu serial foto sepasang bule yang sedang berhubungan kelamin! Ada tiga gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di ranjang membuka kakinya sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang alatnya yang tegang besar (punyaku jauh lebih kecil dan punyaku gelap) menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia menempelnya kok agak ke bawah, di bawah “segitiga terbalik” yang penuh ditumbuhi rambut halus pirang.

Gambar kedua, posisi Si Cewe masih sama hanya kedua tangannya memegang bahu si Cowo yang kini condong ke depan. Nampak jelas separoh batangnya kini terbenam di selangkangan Si Cewe. Lho, kok di situ masuknya ? Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya dia “masuk” dengan benar, karena di samping jalan masuk tadi ada “yang berlipat-lipat”, persis gambar milik Dito kemarin. Menurut bayanganku selama ini, “seharusnya” masuknya penis agak lebih ke atas. Baru tahu aku, khayalanku selama ini ternyata salah! Gambar ketiga, kedua kaki Si Cewe diangkat mengikat punggung Si Cowo. Badan mereka lengket berimpit dan tentu saja alat Si Cowo sudah seluruhnya tenggelam di “tempat yang layak” kecuali sepasang “telornya” saja menunggu di luar. Mulut lelaki itu menggigit leher wanitanya, sementara telapak tangannya menekan buah dada, ibujari dan telunjuk menjepit puting susunya. Gemetaran aku mengamati gambar-gambar ini bergantian. Tanpa sadar aku membuka resleting celanaku mengeluarkan milikku yang dari tadi telah tegang. Kubayangkan punyaku ini separoh tenggelam di tempat si bule persis gambar kedua. Kenyataannya memang sekarang sudah separoh terbenam, tapi di dalam tangan kiriku. Akupun meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya, gambar kedua, setengah, ketiga, seluruhnya.. geli-geli nikmat… terus kugosok… makin geli.. gosok lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di awan.. aku melepas sesuatu… hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan sampai bantal, putih, kental, lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu mimpi basah. Sadar aku sekarang ada di kasur lagi, beberapa detik yang lalu aku masih melayang-layang. He! Kenapa aku ini? Apa yang kulakukan ? Aku panik. Berbenah. Lap sini lap sana. Kacau ! Kurapikan lagi celanaku, sementara si Dia masih tegang dan berdenyut, masih ada yang menetes. Aku menyesal, ada rasa bersalah, rasa berdosa atas apa yang baru saja kulakukan. Aku tercenung. Gambar-gambar an itu yang menyebabkan aku begini. Onani. Istilah aneh itu baru aku ketahui dari temanku beberapa hari sesudahnya. Si Dito menyebutnya ‘ngeloco’. Aneh. Ada sesuatu yang lain kurasakan, keteganganku lenyap. Pikiran jadi cerah meski badan agak lemas..

Hari berikutnya aku “harus” tegang lagi. Tante Ried. Siang itu aku pulang agak awal, pelajaran terakhir bebas. Hampir pingsan aku ketika membuka pintu menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang, mukanya tertutupi majalah “.......(lupa)”, terdengar dengkur sangat halus dan teratur. Rupanya ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-gaun selutut. Agaknya membaca terus ketiduran. Model bajunya warna putih itu, belah di depan dengan kancing tapi kancing terbawah dan yang paling atas tak dipasang. Jelas ia tak memakai kutang, kelihatan dari bentuk buah dadanya yang membulat dan agak jatuh kekiri dan kekanan, serta belahan dadanya seluruhnya terlihat sampai ke bulatan bawah buah itu. Sepasang buah bulat itu naik-turun mengikuti irama dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku hampir pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sehingga belahan bawah baju itu terbuang ke samping, memberiku “pelajaran” baru tentang tubuh wanita. Tidak ada celana dalam di sana. ibu kostku ternyata punya bulu hitam yang lebat. Keliatan tumbuh menyelimuti seluruh “segitiga terbalik” . Berwarna hitam legam, tebal hingga kepinggir-pinggir dan malah terus turun kebawah dekat dengan belaha pantatnya. Berbeda dengan yang di gambar, rambut Tante Ried yang di sini tidak terlalu keriting. Wow, sungguh “karya seni” yang indah sekali ! Kelaminku tegang luar biasa.

Dengan wajah tertutup majalah aku jadi bebas meneliti kewanitaan Tante Ried, kecuali kalau ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku ‘kan waspada. Hampir tak bersuara kudekati milik Tante Ried. Kini giliran bagian bawah rambut indah lebat itu yang kecermati. Walau kulit tante Ried putih bersih, tetapi kulit di daerah terlarang di balik kelebatan rambut itu tampak coklat muda. Dan agak ketengah ada “daging berlipat” warna coklat kemerahan, dan dipuncak atas lipatan daging ada benjolan warna pink, tampaknya lebih menonjol dan besar dibanding milik bule itu, ukurannya kira-kira sebesar kacang tanah. Dan di bawah benjolan itu daging yang berlipat tadi tampak memisah dan membuka, dan kebawah lagi ada “pintu”. Pintu itu demikian kecil, cukupkah punyaku masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja ! Memangnya lubang itu milikmu ? Bisa saja sekarang aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya ke situ, persis gambar pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan … Tiba-tiba Tante Ried menggerakkan tangannya, menggaruk pahanya. Terbang semangatku. Kalau ada cermin di situ pasti aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus terdengar kembali. Untung, nyenyak benar tidurnya. Bagian bawah bajunya menjadi lebih terbuka karena gerakan tangannya tadi. Meski perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, tapi pikiranku masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku. Bisa berantakan masa depanku. Aku “mencatat” beberapa perbedaan antara milik Tante Ried dengan milik bule yang di majalah itu. Rambut, milik Tante Ried hitam lurus, milik bule coklat keriting. Benjolan kacang, milik Tante Ried lebih “panjang dan besar”, warna sama-sama pink. Pintu, milik Tante Riedlebih kecil. Lengkaplah sudah aku mempelajari tubuh ibu kostku. Utuhlah sudah aku mengamati seluruh tubuh Tante Ried. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ? Kesempatan terbuka di depan mata, lho ! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang bergerak naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah buah, hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit menggeser tepi bukaan dada atas baju itu ke samping, lengkaplah sudah “kurikulum” pelajaran anatomi tubuh Tante Ried. Dengan amat sangat hati-hati tanganku menjangkau tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau terbangun bagaimana ? Kuurungkan niatku. Tapi pelajaran tak selesai dong ! Ayo, jangan bimbang, toh dia sedang tidur nyenyak. Ya, dengkurannya yang teratur menandakan ia tidur nyenyak. Kembali kuangkat tanganku. Kuusahakan jangan sampai kulitnya tersentuh. Kuangkat pelan tepi kain itu, dan sedikit demi sedikit kugeser ke samping. Macet, ada yang nyangkut rupanya. Angkat sedikit lagi, geser lagi. Kutunggu reaksinya. Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah.. Puting itu berwarna coklat muda dan tampak terang bersih. Berdiri tegak menjulang, bak mercusuar mini. Amboi, indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin meremasnya. Jangan, bahaya. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan saja khawatir Tante Ried terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri, menubruk tubuh indah tergolek hampir telanjang bulat ini.

******

Selasai mandi hari sudah hampir gelap. Di ruang keluarga Tante Ried sedang duduk di sofa nonton TV sendiri.

“Gimana tante sehat?” Aku coba membuka percakapan. Aku memberanikan diri duduk di sofa yang sama sebelah kanannya.

“Iya dong sehat.” Malam ini Tante Ried mengenakan daster selutut berlengan pendek dan longgar, ada kancing-kancing di tengahnya, dari atas ke bawah. kancing yang paling bawah tidak dipasang.

“Tumben, kamu tidur siang.”

“Iya Tante, tadi main voli di situ,” jawabku tangkas.

“Kamu suka main voli ?”

“Di kampung saya sering olah-raga Tante.” Aku mulai berani memandangnya langsung, dari dekat lagi. Ih, bahu dan lengan atasnya putih banget !

“Pantesan badanmu serasi.” Senang juga aku dipuji ibu kostku yang rupawan ini.

“Ah, iya karena olah raga, tapi saya merasa kurang tinggi, Tante.” Wow, buah putih itu mengintip di antara kancing pertama dan kedua di tengah dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.

“Nanti kan bisa lebih tinggi lagi asal banyak makan dan minum susu”

“Iya tapi kalau minum susu saya gampang enek.” Buah dada itu rasanya mau keluar.

“Justru itu yang penting kalau mau tinggi” tanyanya lagi sambil mengubah posisi duduknya, menyilangkan sebelah kakinya.

Kancing kedua dari bawah daster itu sudah terlepas. Waktu sebelah pahanya menaiki pahanya yang lain, ujung kain daster itu tidak “ikut”, jadi 70 % paha Tante tersuguh di depan mataku. Putih licin. Yang tadi bergerak di celanaku, berangsur membesar.

“Iya nih mesti dilatih minum susunya.” Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi pahanya.

“Kalau kamu mau makan, duluan aja.”

“Nanti aja Tante, nunggu Oom.” Aku memang belum lapar. Adikku mungkin yang “lapar”

“Oom tadi nelepon ada acara makan malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malam.”

“Saya belum lapar,” jawabku supaya aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.

“Kamu betah di sini ?” Ia membungkuk memijit-mijit kakinya. Betisnya itu…

“Kerasan sekali, Tante. Cuman saya banyak waktu luang Tante. Kalau ada yang bisa saya bantu Tante, saya siap.”

“Ya, kamu biasakan dulu di sini, nanti Tante kasih tugas.”

“Kenapa kakinya Tante ?” Sekedar ada alasan buat menikmati betisnya.

“Pegel, tadi siang banyak jalan di mall.”

Di antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya terdapat “celah”. Ada yang sempit, ada yang lebar, ada yang tertutup. Celah pertama, lebar karena buah dadanya, menyuguhkan bagian kanan atas buah dada kiri. Celah kedua memperlihatkan kutang bagian bawah. Celah ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, ada perutnya yang walau tidak langsing lagi tapi keliatan putih. Celah berikutnya walaupun sempit tapi cukup membuatku tahu kalau celana dalam Tante warna putih. Ke bawah lagi ada sedikit paha atas dan terakhir, ya yang kancingnya lepas tadi.

“Mau bantu Tante sekarang ?”

“Kapan saja saya siap.”

“Betul ?”

“Kewajiban saya, Tante. Masa numpang di sini engga kerja apa-apa.”

“Pijit kaki Tante, mau ?”

Hah ? Aku tak menyangka diberi tugas mendebarkan ini.

“Tapi saya engga bisa mijit Tante, cuma sekali saya pernah mijit kaki teman yang keseleo karena main bola.” Aku berharap ia jangan membatalkan perintahnya.

“Engga apa-apa. Tante ambil bantal dulu.” Goyang pinggulnya itu…

Sekarang ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari pergelangan kaki kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir seluruh tubuh Tante pernah kulihat, tapi baru inilah aku merasakan mulus kulitnya. Mataku ke betis lainnya mengamati bulu-bulu halus.

“Begini Tante, kurang keras engga ?”

“Cukup segitu aja, enak kok.”

Tangan memijit, mata jelalatan. Lekukan pantat itu bulat menjulang, sampai di pinggang turun menukik, di punggung mendaki lagi. Indah. Kakinya sedikit membuka, memungkinkan mataku menerobos ke celah pahanya. Tanganku pindah ke betis kanannya aku menggeser dudukku ke tengah, dan.. terobosan mataku ke celah paha sampai ke celana dalam putih itu. Huuuh, sekarang aku betul-betul keras.

“Aah,” teriaknya pelan ketika tanganku menjamah ke belakang lututnya.

“Maaf Tante.”

“Engga apa-apa. Jangan di situ, sakit. Ke atas saja.”

Ke atas ? Berarti ke pahanya ? Apa tidak salah nih ? Jelas kok, perintahnya. Akupun ke paha belakangnya. Ampuuun, halusnya paha itu. Kulit Tante memang istimewa. Kalau ada lalat hinggap di paha itu, mungkin tergelincir karena licin ! Aku mulai tak tenang. Nafas mulai tersengal, entah karena mijit atau terangsang, atau keduanya. Aku tak hanya memijit, terkadang mengelusnya, habis tak tahan. Tapi Tante diam saja.

Kedua paha yang diluar, yang tak tertutup daster selesai kupijit. Entah karena aku sudah “tinggi” atau aku mulai nakal, tanganku terus ke atas menerobos dasternya.

“Eeeh,” desahnya pelan. Hanya mendesah, tidak protes ! Kedua tanganku ada di paha kirinya terus memijit. Kenyal, padat. Tepi dasternya dengan sendirinya terangkat karena gerakan pijitanku. Kini seluruh paha kirinya terbuka gamblang, bahkan sebagian pantatnya yang melambung itu tampak. Pindah ke paha kanan aku tak ragu-ragu lagi menyingkap dasternya.

“Enak Mir, kamu pintar juga memijit.”

Aku hampir saja berkomentar, “Paha Tante indah sekali.” Untung aku masih bisa menahan diri. Terus memijit, sekali-kali mengelus.

“Ke atas lagi Mir.” Suaranya jadi serak.

Ini yang kuimpikan ! Sudah lama aku ingin meremas pantat yang menonjol indah ke belakang itu, kini aku disuruh memijitnya ! Dengan senang hati ! Aku betul-betul meremas kedua gundukan itu, bukan memijit, dari luar daster tentunya. Dengan gemas malah ! Keras dan padat. Ah, Tante. Tante tidak tahu dengan begini justru menyiksa saya ! kataku dalam hati. Rasanya aku ingin menubruk, menindihkan kelaminku yang keras ini ke dua gundukan itu.

“Ih, geli Mir. Udah ah, jangan di situ terus,” ujarnya menggelinjang kegelian. Barusan aku memang meremas pinggir pinggulnya, dengan sengaja !

“Cape, Mir ?” tanyanya lagi.

“Sama sekali engga, Tante,” jawabku cepat, khawatir saat menyenangkan ini berakhir.

“Bener nih ? Kalau masih mau terus, sekarang punggung, ya ?” Aha, “daerah jamahan” baru ! Bahunya kanan dan kiri kupencet.

“Eeh,” desahnya pelan.

Turun ke sekitar kedua tulang belikat. Lagi-lagi melenguh. Lengan dasternya sudah tersingkap dan menampakkan keteknya yang berbulu jarang. Rajin bercukur atau dicabut, mungkin. Kontras sekali dengan jembut bawahnya yang lebat. Ah, di bawah ketek itu ada pinggiran buah putih. Teteknya tergencet, jadi buah itu “terbuang” ke samping. Nakalku kambuh. Ketika beroperasi di bawah belikat, tanganku bergerak ke samping.

Jari-jariku menyentuh “tumpahan” buah itu. Tidak langsung sih, masih ada lapisan kain daster dan kutang, tapi kenyalnya buah itu terasa. Punggungnya sedikit berguncang, aku makin terangsang. Ke bawah lagi, aku menelusuri pinggangnya.

“Cukup, Mir..” Kedua tangannya lurus ke atas. Ia tengkurap total. Nafasnya terengah-engah.

“Depannya Tante ?” usulku nakal. Tante Ried sampai menoleh melihatku, kaget barangkali atas usulku yang berani itu.

“Kaki depannya ‘kan belum Tante.” Aku cepat-cepat meralat usulku. Takut dikiranya aku ingin memijit “depannya punggung” yang artinya buah dada !

“Boleh aja kalau kamu engga cape.” Ya jelas engga dong ! Ibu kostku berbalik terlentang. Sekejap aku sempat menangkap guncangan dadanya ketika ia berbalik. Wow ! Guncangan tadi menunjukkan “eksistensi” kemolekan buah dadanya ! Aduuh, bagaimana aku bisa bertahan nih ? Tubuh molek terlentang dekat di depanku. Ia cepat menarik dasternya ke bawah, sebagai reaksi atas mataku yang menatap ujung celana dalamnya yang tiba-tiba terbuka, karena gerakan berbalik tadi. Silakan ditutup saja Tante, toh aku sudah tahu apa yang ada dibaliknya, rambut-rambut agak lurus, hitam, mengkilat, dan sangat lebat. Lagi pula aku masih bisa menikmati “sisanya”: sepasang paha dan kaki indah ! Aku mulai memijit tulang keringnya. Singkat saja karena aku ingin cepat-cepat sampai ke atas, ke paha. Lutut aku lompati, takut kalau ia kesakitan, langsung ke atas lutut, kuremas dengan gemas.

“Iih, geli.” Aku tak peduli, terus meremas. Paha selesai, untuk mencapai paha atas aku ragu-ragu, disingkap atau jangan. Singkap ? Jangan ! Ada akal, diurut saja. Mulai dari lutut tanganku mengurut ke atas, menerobos daster sampai pangkal paha.

“Aaaah, Mir ….” Biar saja. Kulihat wajahnya, matanya terpejam. Aku makin bebas. Dengan sendirinya tepi daster itu terangkat karena terdorong tanganku. Samar-samar ada bayangan hitam di celana dalam tipis itu dan ada jumputan rambut hitam keluar dari tepi-tepi celana dalam. Jelas rambut-rambut itu. Ke bawah lagi, urut lagi ke atas. Aaah lagi. Dengan cara begini, sah-sah saja kalau jempol tanganku menyentuh selangkangannya. Sepertinya basah di sana. Ah masak. Coba ulangi lagi untuk meyakinkan. Urut lagi. Ya, betul, basah ! Celaan dalam tante Ried basah. Kenapa basah ? Ngompol ? Aku tidak mengerti.

“Mir …” panggilnya tiba-tiba. Aku memandangnya, kedua tanganku berhenti di pangkal pahanya. Matanya sayu menantang mataku, nafasnya memburu, dadanya naik-turun.

“Ya, Tante.” Mendadak suaraku serak. Dia tak menyahut, matanya tetap memandangiku, setengah tertutup. Ada apa nih ? Apakah ibu kostku ….. ? Ah, mana mungkin. Kalau Tante Ried terangsang, apakah mungkin ? Aku meneruskan pekerjaanku. Kini tak memijit lagi, tapi menelusuri lengkungan pinggulnya yang indah itu, membelai. Habis tak tahan.

“Uuuuh,” desahnya lagi menanggapi kenakalanku. Keterlaluan aku sekarang, kedua tanganku ada di balik dasternya, mengelus mengikuti lengkungan samping pinggul.

“Mir …. ” panggilnya lagi. Kulepas tanganku, kudekati wajahnya dengan merangkak di atas tubuhnya bertumpu pada kedua lutut dan telapak tanganku, tidak menindihnya.

“Ada apa, Tante,” panggilku serak. Mukaku sudah dekat dengan wajahnya. "Amir ....." suaranya serak dan perlahan. Matanya kemudian terpejam, mulut setengah terbuka. Terasa tangannya di belakang kepalaku memekan perlahan, membuat wajahku menyentuh mukanya, bibirku menyentuh bibirnya. Nafas tante Ried menderu, panas, menerpa mukaku. Aku nekat, sudah kepalang, tak terasa kutekan bibir ibu kostku perlahan dengan bibirku.

“Ehhmmmm.” dia tidak menolak. Tangan kirinya lemah memeluk punggungku. Nafasnya terdengar memburu. Aku tidak lagi bertumpu pada lututku, tubuhku menindih tubuhnya. Menekan. Ia membuka kakinya. Aku menggeser tubuhku sehingga tepat di antara pahanya yang baru saja ia buka. Kelaminku yang keras tepat menindih selangkangannya. Kutekan. Nikmatnya !

“Ehhhmmmmmm,” reaksinya atas aksiku.

Lidahnya menjilat bibirku, geli dan enak, basah. Lidahnya terus menerobos mulutku,menjilat dan menyedot lidahku. Kami saling bermain lidah dan ludah. Sedapnya !

Aku terengah-engah.

Dia tersengal-sengal.

Tangan kananku meremas dada kirinya. Lembut dan kenyal ! Ooooohhhh, aku melayang.

Dua kancing dasternya telah kulepas, tanganku menyusup ke balik kutangnya. Selain empuk dan kenyal, ternyata juga halus dan hangat ! Tiba-tiba Tante Ried melepas ciumanku.

“Jangan di sini, Mir,” katanya terputus-putus oleh nafasnya.

(bersambung)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

"Bagaimana Mengubah Modal Rp 350.000,- Menjadi Penghasilan Rutin Rp 75 Juta/Bulan dari Bisnis Sederhana di Internet?" info lengkap Klik disini!

E-book Download "Tehnik Arab-Sudan Untuk Memperbesar Penis + Menambah Ereksi KERAS & KUAT + ML Tahan Lama" klik disini untuk download atau klik webnya disini!

"Anda Dapat Bertambah Tinggi 2 cm s/d 10 cm Dalam Waktu 4 Bulan" Caranya? download ebooknya disini atau Klik disini!

Download Ebook "SOLUSI SOAL CINTA: BUATLAH WANITA JATUH CINTA KEPADA ANDA, Cara Memikat Wanita Idaman" klik disini untuk download atau klik webnya disini

Cari Blog Ini